1. Pengertian dan
Fungsi Budaya Organisasi
Pengertian Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah
sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang
membedakan suatu organisasi dari organisasi-organisasi
lainnya. Sistem makna bersama ini adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh
organisasi.
Dalam buku Handbook of Human Resource Management Practice oleh Michael Armstrong pada tahun 2009, budaya organisasi atau budaya perusahaan adalah nilai, norma, keyakinan, sikap dan asumsi yang merupakan bentuk bagaimana orang-orang dalam organisasi berperilaku dan melakukan sesuatu hal yang bisa dilakukan.
Fungsi Budaya Organisasi
1. Budaya mempunyai peranan pembeda atau tapa batas, artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan yang lain.
2. Budaya memberikan rasa identitas ke anggota-anggota organisasi.
3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri pribadi seseorang.
4. Budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial.
Budaya organisasi
sebagai istilah deskriptif
Budaya organisasi berkaitan
dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik
budaya suatu organisasi, dan tidak terkait dengan apakah karyawan menyukai
karakteristik itu atau tidak. Budaya organisasi adalah suatu sikap deskriptif,
bukan seperti kepuasan kerja yang
lebih bersifatevaluatif.
Penelitian mengenai budaya
organisasi berupaya mengukur bagaimana karyawan memandang organisasi mereka:
Sebaliknya, kepuasan kerja
berusaha mengukur respons afektif terhadaplingkungan kerja, seperti bagaimana karyawan merasakan
ekspektasiorganisasi, praktik-praktik imbalan, dan sebagainya.[2]
Asal muasal budaya
organisasi
Ingvar Kamprad, pendiri IKEA.
Sumber dari budaya organisasi yang tumbuh di IKEA adalah pendirinya.
Kebiasaan, tradisi, dan cara umum dalam melakukan
segala sesuatu yang ada di sebuah organisasi saat ini merupakan hasil atau akibat dari yang
telah dilakukan sebelumnya dan seberapa besar kesuksesan yang telah diraihnya
di masa lalu.[2] Hal ini mengarah pada sumber tertinggi budaya sebuah
organisasi: para pendirinya.[3]
Secara tradisional, pendiri organisasi memiliki pengaruh besar terhadap budaya awal
organisasi tersebut[2]. Pendiri organisasi tidak memiliki kendala karena
kebiasaan atau ideologi sebelumnya.[2] Ukuran kecil yang biasanya mencirikan
organisasi baru lebih jauh memudahkan pendiri memaksakan visimereka pada
seluruh anggota organisasi.[2] Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga
cara.[4] Pertama, pendiri hanya merekrut dan
mempertahankan karyawan yang sepikiran dan
seperasaan dengan mereka.[4] Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan
berperilakunya kepada karyawan.[4] Terakhir, perilaku pendiri sendiri bertindak
sebagai model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri dan,
dengan demikian, menginternalisasi keyakinan, nilai,
dan asumsi pendiri
tersebut.[4] Apabila organisasi mencapai kesuksesan, visi
pendiri lalu dipandang sebagai faktor penentu utama keberhasilan itu.[4]Di titik ini, seluruh kepribadian para pendiri jadi melekat dalam budaya
organisasi.[4]
Karakteristik budaya
organisasi
Penelitian menunjukkan bahwa ada
tujuh karakteristik utama yang, secara keseluruhan, merupakan hakikat budaya
organisasi.[5]
- Inovasi
dan keberanian mengambil risiko. Sejauh mana karyawan didorong
untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
- Perhatian
pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi,
analisis, d perhatian pada hal-hal detail.
- Orientasi
hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada
teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
- Orientasi
orang. Sejauh mana keputusan-keputusan manajemenmempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas
orang yang ada di dalam organisasi.
- Orientasi
tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi pada tim ketimbang
pada indvidu-individu.
- Keagresifan.
Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitifketimbang santai.
- Stabilitas.
Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam
perbandingannya denganpertumbuhan.
Nilai dominan dan
subbudaya organisasi
Budaya organisasi mewakili sebuah persepsi yang sama dari para anggota organisasi atau
dengan kata lain, budaya adalah sebuah sistem makna bersama.[6] Karena itu, harapan yang dibangun dari sini
adalah bahwaindividu-individu yang memiliki latar belakang yang berbeda
atau berada di tingkatan yang tidak sama dalam organisasi akan memahami budaya
organisasi dengan pengertian yang serupa.[6]
Sebagian besar organisasi
memiliki budaya dominan dan banyak subbudaya.[7] Sebuah budaya dominan mengungkapkan nilai-nilai
inti yang dimiliki bersama oleh mayoritas anggota organisasi[7]. Ketika berbicara tentangbudaya sebuah
organisasi, hal tersebut merujuk pada budaya dominannya, jadi inilah pandangan
makro terhadap budaya yang memberikan kepribadiantersendiri dalam organisasi.[8]Subbudaya cenderung
berkembang di dalam organisasi besar untuk merefleksikan masalah, situasi, atau pengalaman yang sama yang dihadapi para
anggota.[7] Subbudaya mencakup nilai-nilai inti dari budaya
dominan ditambah nilai-nilai tambahan yang unik.[7]
Jika organisasi tidak memiliki
budaya dominan dan hanya tersusun atas banyak subbudaya, nilai budaya
organisasi sebagai sebuah variabelindependen akan berkurang secara signifikan karena tidak
akan ada keseragaman penafsiran mengenai apa yang merupakan perilakusemestinya dan perilaku yang tidak semestinya.[2] Aspek makna bersama dari budaya inilah yang
menjadikannya sebagai alat potensial untuk menuntun dan membentuk perilaku.[2] Itulah yang memungkinkan seseorang untuk
mengatakan, misalnya, bahwa budaya Microsoft menghargai keagresifan dan pengambilan risiko
dan selanjutnya menggunakan informasi tersebut untuk lebih memahami perilaku
dari para eksekutif dan karyawan Microsoft.[9] Tetapi, kenyataan yang tidak dapat diabaikan
adalah banyak organisasi juga memiliki berbagai subbudaya yang bisa memengaruhi
perilaku anggotanya.[2]
Pengaruh budaya
Fungsi-fungsi budaya
Budaya memiliki sejumlah fungsi
dalam organisasi.[2]
Batas
Budaya berperan sebagai penentu
batas-batas; artinya, budaya menciptakan perbedaan atau yang membuat unik suatu
organisasi dan membedakannya dengan organisasi lainnya.[2]
Identitas
Budaya memuat rasa identitas
suatu organisasi.[2]
Komitmen
Budaya memfasilitasi lahirnya
komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar daripada kepentingan individu.[2]
Stabilitas
Budaya meningkatkan stabilitas
sistem sosial karena budaya adalah perekat sosial yang membantu menyatukan
organisasi dengan cara menyediakan standar mengenai apa yang sebaiknya
dikatakan dan dilakukan karyawan.[2]
Pembentuk sikap dan
perilaku
Budaya bertindak sebagai
mekanisme alasan yang masuk akal (sense-making) serta kendali yang
menuntun dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.[2] Fungsi terakhir inilah yang paling menarik[10]. Sebagaimana dijelaskan oleh kutipan berikut,
budaya mendefinisikan aturan main:
“
Dalam definisinya, bersifat
samar, tanmaujud, implisit, dan begitu adanya. Tetapi, setiap organisasi
mengembangkan sekmpulan inti yang berisi asumsi, pemahaman, dan aturan-aturan
implisit yang mengatur perilaku sehari-hari di tempat kerja… Hingga para pendatang
baru mempelajari aturan, mereka tidak diterima sebagai anggota penuh
organisasi. Pelanggaran aturan oleh pihak eksekutif tinggi atau karyawan lini
depan membuat publik luas tidak senang dan memberi mereka hukuman yang berat.
Ketaatan pada aturan menjadi basis utama bagi pemberian imbalan dan mobilitas
ke atas.[11]
”
Budaya sebagai beban
Hambatan untuk
perubahan
Budaya menjadi kendala manakala
nilai-nilai yang dimiliki bersama tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dapat
meningkatkan efektivitas organisasi.[2]Hal ini paling mungkin terjadi bila lingkungan sebuah
organisasi bersifat dinamis[2]
- Hambatan
bagi keragaman.
Merekrut karyawan baru yang, karena faktor ras, usia, jenis kelamin,
ketidakmampuan, atau perbedaan-perbedaan lain, tidak sama dengan mayoritas
anggota organisasi lain akan menciptakan sebuah paradoks.[12]
- Hambatan
bagi akuisisi dan merger. Secara historis, faktor kunci yang diperhatikan
manajemen ketika membuat keputusan akuisisi atau merger terkait dengan isu
keuntungan finansial atau sinergi produk.[2] Belakangan ini, kesesuaian budaya juga
menjadi fokus utama.[2]
Menciptakan budaya
organisasi yang etis
Isu dan kekuatan suatu budaya
memengaruhi suasana etis sebuah organisasi dan perilaku etis para anggotanya. [13] Budaya sebuah organisasi yang punya
kemungkinan paling besar untuk membentuk standar dan etika tinggi adalah budaya
yang tinggi toleransinya terhadap risiko tinggi, rendah, sampai sedang dalam
hal keagresifan, dan fokus pada sarana selain juga hasil.[13]
2. Tipologi Budaya Organisasi
Beranjak dari aneka definisi,
lapisan, dan perspektif dalam memandang budaya organisasi, maka muncul aneka
ragam tipologi budaya organisasi. Tujuan tipologi ini menunjukkan aneka budaya
organisasi yang mungkin ada di realitas. Kajian mengenai tipologi budaya
organisasi ini sangat bervariasi.
Tipologi budaya organisasi dapat
diturunkan dari tipologi organisasi. Amitai Etzioni membagi tipe organisasi
dengan membuat tabulasi silang antara jenis kekuasaan dengan jenis
keterlibatan individu di dalam organisasi. Jenis kekuasaan ia bagi
menjadi Koersif, Remuneratif, dan Normatif sementara jenis keterlibatan ia bagi
menjadi Alienatif, Kalkulatif, dan Moral.[28] Tabel dari tabulasi silang
tersebut sebagai berikut:
JENIS
KEKUASAAN
JENIS
KETERLIBATAN
Alienatif
Kalkulatif
Moral
Koersif
1
2
3
Remuneratif
4
5
6
Normatif
7
8
9
Jenis Kekuasaan. Koersif adalah kuasa dalam organisasi yang muncul dari penghukuman fisik atau ancaman penghukuman fisik. Remuneratif muncul dari kendali atas sumber daya dan reward material. Normatif muncul dari distribusi dan manajemen reward serta penalti simbolik.
Keterlibatan. Adalah
kecenderungan evaluatif dan emosional dari para aktor terhadap suatu tindakan.
Alienatif adalah keterlibatan yang sangat tidak disetujui. Kalkulatif adalah
keterlibatan yang lemah baik itu setuju atau tidak setuju. Moral adalah keterlibatan
yang sangat disetujui.
Etzioni yakin bahwa cenderung
akan ada perimbangan antara keterlibatan dan power dalam suatu organisasi
sehingga pola budaya suatu organisasi adalah persilangan antara kedua konsep
tersebut. Menurut Etzioni, tipe kombinasi yang paling sering muncul dalam
realitas organisasi adalahKoersif-Alienatif, Remuneratif-Kalkulatif,
dan Normatif-Moral yang pada tabel di atas ada dalam domain 1,
5, dan 9. Etzioni melanjutkan bahwa ketiga domain tersebut merupakan tipe
organisasi yang paling efektif. Dari hasil tabulasi silangnya, Etzioni kemudian
mengajukan tipologi organisasinya yaitu : (1) Organisasi Koersif; (2)
Organisasi Utilitarian; dan (3) Organisasi Normatif.[29]
Organisasi Koersif adalah organisasi di mana para anggotanya terperangkap dalam alasan fisik dan ekonomi sehingga harus mematuhi apapun peraturan yang ditimpakan oleh otoritas. Organisasi Utilitiarianadalah organisasi di mana para anggota dimungkinkan untuk bekerja yang adil untuk hasil yang adil pula serta adanya kecenderungan untuk mematuhi beberapa aturan yang esensial di samping para pekerja menyusun norma dan aturan yang melindungi diri mereka sendiri. Organisasi Normatif adalah organisasi di mana para individunya memberi kontribusi pada komitmen karena menganggap organisasi adalah sama dengan tujuan diri mereka sendiri.
Organisasi Koersif adalah organisasi di mana para anggotanya terperangkap dalam alasan fisik dan ekonomi sehingga harus mematuhi apapun peraturan yang ditimpakan oleh otoritas. Organisasi Utilitiarianadalah organisasi di mana para anggota dimungkinkan untuk bekerja yang adil untuk hasil yang adil pula serta adanya kecenderungan untuk mematuhi beberapa aturan yang esensial di samping para pekerja menyusun norma dan aturan yang melindungi diri mereka sendiri. Organisasi Normatif adalah organisasi di mana para individunya memberi kontribusi pada komitmen karena menganggap organisasi adalah sama dengan tujuan diri mereka sendiri.
Tipologi Etzioni memungkinkan
peneliti membedakan antara organisasi bisnis yang cenderung Utilitarian,
organisasi Koersif seperti penjara dan rumah sakit jiwa, ataupun organisasi
Normatif seperti sekolah, rumah sakit dan lembaga-lembaga nirlaba.
Tipologi lainnya diajukan oleh
Rob Goffee and Gareth Jones yang membagi tipologi budaya organisasi ke dalam 4
kuadran yaitu : (1) Networked, (2)Fragmented, (3) Mercenary,
dan (4) Komunal.[30] Rincian kuadran tipologi Budaya Organisasi
Goffee and Jones sebagai berikut:
Tipologi Goffee and Jones didasarkan pada 2 konsep yaitu : Solidaritas danSosiabilitas. Solidaritas adalah kecenderungan untuk saling dukung sementara Sosiabilitas adalah kecenderungan untuk berhubungan satu dengan lainnya. Dalam kajiannya, tipologi Goffee and Jones diukur lewat kuesioner yang terdiri atas 23 pertanyaan.
Fragmented adalah
tipe budaya organisasi yang rendah baik dimensi Sosiabilitas maupun
Solidaritasnya. Mercenary adalah tipe budaya organisasi dengan
Solidaritas tinggi, sementara Sosiabilitas rendah. Komunal adalah tipe budaya
organisasi dengan Sosiabilitas tinggi, sementara Solidaritas rendah. Akhirnya, Networked adalah
tipe budaya organisasi dengan Sosiabilitas dan Solidaritas tinggi.
Tipologi Goffee and Jones
cukup bermanfaat dalam mendiagnosis sejumlah elemen dalam suatu budaya
organisasi kendati kekurangan dua dimensi pokok dalam budaya organisasi: (1)
hubungan antara organisasi dengan lingkungan eksternal dan (2) batasan fungsi
manajemen.
Tipologi budaya organisasi
lainnya dibuat oleh dua peneliti Kim S. Cameron and Robert E. Quinn. Keduanya
membagi tipologi organisasi ke dalam 4 kuadran yaitu : (1) Klan; (2) Hirarki;
(3) Adokrasi; dan (4) Market-Oriented.[31] Kuadran dari tipologi
Cameron and Quinn sebagai berikut:
Gambar 9 Kuadran Tipologi Budaya Organisasi versi Cameron and Quinn
Cameron and Quinn berbeda dengan Goffee and Jones karena menyertakan kalkulasi masalah eksternal organisasi. Tipologi ini dibangun lewat kerangka nilai-nilai yang berkembang di dalam budaya suatu organisasi dan sebab itu disebut pula sebagai “Competing Value Model.” Cameron and Jones telah mengembangkan alat ukur khusus untuk mengukur tipologi di atas dan terkenal dengan sebutan OCAI (Organizational Culture Assessment Instrument).
Alat ukur OCAI tersebut terdiri
dari 24 item pertanyaan dengan 6 indikator. Keenam indikator
tersebut adalah: [32]
- Karakteristik-karakteristik
dominan organisasi;
- Kepemimpinan
organisasi;
- Manajemen
pegawai;
- Perekat
organisasi;
- Titik
tekan strategis; dan
- Kriteria
keberhasilan organisasi.
Berdasarkan kombinasi atas keenam
indikator organisasi tersebut, Cameronand Quinn membuat empat
tipologi budaya organisasinya.
Klan adalah budaya
organisasi yang merupakan tempat paling ramah dan bersahabat untuk bekerja.
Para anggota organisasi saling berbagi kehidupan antar sesamanya. Ia mirip
dengan keluarga di luar rumah. Pemimpin, atau kepala organisasi, dipandang
selaku mentor dan mungkin juga figur orang tua. Organisasi terbangun atas
loyalitas dan tradisi. Komitmen para anggota terhadap organisasi cukup tinggi.
Di samping itu, organisasi menekankan pada keuntungan jangka panjang dari pembangunan
sumber daya manusia dan sangat memperhatikan kohesi organisasi dan moral.
Kesuksesan didefinisikan dalam pengertian sensitivitas pada penikmat jasa dan
perhatian pada orang lain. Organisasi Klan menempatkan kerja tim,
keterlibatan anggota, dan konsensus pada prioritas tertinggi.
Adokrasi merupakan tempat
bekerja yang dinamis, kewirausahawanan, dan kreatif. Para anggota bersikap
waspada dan bersedia mengambil resiko. Pemimpin dianggap selaku inovator dan
pengambil resiko. Organisasi direkatkan oleh komitmen atas inovasi dan
eksperimentasi. Penekanan Adokrasi adalah membawa organisasi menjadi perintis
atau pionir. Penekanan jangka panjang organisasi adalah pada perkembangan dan
pencarian sumber-sumber daya baru. Kesuksesan diartikan sebagai pencapaian
keunikan jasa dan produk-produk baru. Sebab itu, selalu menjadi pemimpin dalam
produksi atau pelayanan adalah nilai terpenting bagi organisasi yang memiliki
budaya Adokrasi. Organisasi juga menghendaki inisiatif dan kebebasan
individual.
Market juga disebut
organisasi yang berorientasi hasil, di mana concernutamanya adalah
bagaimana pekerjaan dituntaskan. Para anggota cenderung kompetitif dan
berorientasi tujuan. Pemimpin adalah pengarah yang ketat, produser, sekaligus
kompetitor. Mereka zakelijk dan penuntut. Reputasi dan
kesuksesan adalah concern-nya. Fokusnya pada jangka panjang
adalah pemenuhan tujuan serta tindakan kompetitif yang terukur.
Hirarki adalah organisasi
yang bersifat formal dan terstruktur. Prosedur-prosedur adalah pengatur yang
utama seputar apa yang orang harus lakukan. Pemimpin bangga jika diri mereka
mampu menjadi organisator dan koordinator yang baik, dengan kecenderungan pada
efisiensi. Bagaimana organisasi berjalan lancar adalah sesuatu yang kritis bagi
Hirarki. Aturan-aturan serta kebijakan-kebijakan formal yang membuat ikatan
dalam organisasi. Fokus jangka panjang adalah pada stabilitas dan kinerja yang
efisien dan kelancaran operasi. Kesuksesan didefinisikan dalam istilah
penjadualan yang lancar, biaya rendah, dan pengantaran yang teratur. Manajemen
pekerja concern pada keamanan pekerjaan dan
prediktabilitas.
3. Kreativitas
Individu dan Team Proses Inovasi
Kreativitas dengan inovasi itu berbeda. Kreativitas merupakan pikiran untuk menciptakan sesuatu yang baru, sedangkan inovasi adalah melakukan sesuatu yang baru. Hubungan keduanya jelas. Inovasi merupakan aplikasi praktis dari kreativitas. Dengan kata lain, kreativitas bisa merupakan variabel bebas, sedangkan inovasi adalah variabel tak bebas. Dalam praktek bisnis sehari-hari, ada perencanaan yang meliputi strategi, taktik, dan eksekusi. Dalam pitching konsultansi atau agency, sering terdengar keluhan bahwa secara konseptual apa yang disodorkan agency bagus, tetapi strategi itu tak berdampak pada perusahaan karena mandek di tingkat eksekusi. Mengapa? Sebab, strategi bisa ditentukan oleh seseorang, tetapi eksekusinya harus melibatkan banyak orang, mulai dari atasan hingga bawahan. Di sinilah mulai ada gesekan antarkaryawan, beda persepsi hingga ke sikap penentangan.
Kreativitas dengan inovasi itu berbeda. Kreativitas merupakan pikiran untuk menciptakan sesuatu yang baru, sedangkan inovasi adalah melakukan sesuatu yang baru. Hubungan keduanya jelas. Inovasi merupakan aplikasi praktis dari kreativitas. Dengan kata lain, kreativitas bisa merupakan variabel bebas, sedangkan inovasi adalah variabel tak bebas. Dalam praktek bisnis sehari-hari, ada perencanaan yang meliputi strategi, taktik, dan eksekusi. Dalam pitching konsultansi atau agency, sering terdengar keluhan bahwa secara konseptual apa yang disodorkan agency bagus, tetapi strategi itu tak berdampak pada perusahaan karena mandek di tingkat eksekusi. Mengapa? Sebab, strategi bisa ditentukan oleh seseorang, tetapi eksekusinya harus melibatkan banyak orang, mulai dari atasan hingga bawahan. Di sinilah mulai ada gesekan antarkaryawan, beda persepsi hingga ke sikap penentangan.
Itu sebabnya, tak ada perusahaan
yang mampu berinovasi secara konsisten tanpa dukungan
karyawan yang bisa memenuhi tuntutan persaingan. Hasil pengamatan
kami menunjukkan, perusahaan-perusahaan inovator sangat memperhatikan masalah
pelatihan karyawan, pemberdayaan, dan juga sistem reward untuk
meng-create daya pegas inovasi. Benih-benih inovasi akan tumbuh baik
pada perusahaan-perusahaan yang selalu menstimulasi karyawan,
dan mendorong ke arah ide-ide bagus. Melalui program pelatihan,
sistem reward, dan komunikasi, perusahaan terus berusaha untuk
mendemokratisasikan inovasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar