Kamis, 11 Juni 2015

WALISONGO dan Penyebaran Islam di Indonesia

WALISONGO dan Penyebaran Islam di Indonesia
Berdasarkan sejarahnya, agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-14 melalui para pedagang dari Gujarat, India. Lalu Islam menyebar terlebih dahulu ke Sumatera, baru ke Pulau Jawa.
Di Pulau Jawa ini, Islam berkembang karena peran dari Walisongo atau wali sembilan. Yakni ada sembilan yang disebut “wali” sebagai penyebar agama Islam di Jawa. Kesembilan wali ini tinggal di wilayah penting Pantai Utara Pulau Jawa, yakni Surabaya, Gresik, Lamongan, Tuban, Demak, Kudus, Muria, dan Cirebon.
Kehadiran Walisongo mengakhiri dominasi kebudayaan Hindu-Budha di Nusantara yang lebih dulu masuk ke Indonesia dengan kebudayaan Islam. Peran mereka sebagai penyebar Islam di Pulau Jawa sangat terkenal dibanding tokoh-tokoh agama lainnya. Sehingga wajar, hingga kini Walisongo tak pernah luput dari sejarah Islam di Indonesia. Mereka adalah simbol penyebar agama Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Siapa saja Walisongo itu?  Kesembilan wali itu adalah Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim), Sunan Drajat (Raden Qosim), Sunan Kudus (Ja’far Shadiq), Sunan Muria (Raden Umar Said), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Kalijaga (Raden Said), dan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).

Sunan Gresik
Sunan Gresik merupakan Walisongo paling senior di antara para Walisongo lainnya. Pemilik nama asli Maulana Malik Ibrahim ini merupakan keturunan Nabi Muhammad yang ke-22.
Berdasarkan riwayat sejarah disebutkan, Sunan Gresik diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah pada pertengahan awal abad 14. Dia mengajarkan cara bercocok tanam pada rakyat dan banyak merangkul rakyat kebanyakan yang tersisih di akhir kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Sunan Gresik yang berprofesi sebagai pedagang ini juga membangun pondokan tempat belajar agama Islam di Leran, Gresik saat Nusantara dilanda krisis ekonomi. Pada tahun 1419, ia wafat dan dimakamkan di Desa Gapura,Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel
Menurut sejarahnya, Sunan Ampel merupakan putra dari Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putrid Champa bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa terakhir dari Dinasti Ming.
Pemilik nama asli Raden Rahmat ini dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantren yang dibangunnya di Ampel, Denta, Surabaya,  menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa.
Dia menikahi Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila, putri dari adipati Tuban bernama Arya Teja. Dari pernikahan ini, dia memiliki anak bernama Sunan Bonang dan Sunan Drajat yang juga menjadi Walisongo berikutnya. Ketika wafat, Sunan Ampel dimakamkan di Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang
Sunan Bonang terkenal dengan ilmu kebathinannya. Dia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullullah. Dzikir dengan pernafasan (seperti yoga sambil berdzikir) ternyata sudah dikembangkan oleh Sunan Bonang. Hingga kini, ilmu yang diciptakannya ini tetap dilestarikan di Indonesia dengan beragama inovasi. Salah satunya masih dipelajari di Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia.
Dia memiliki nama asli Makhdum Ibrahim merupakan putra dari Sunan Ampel dan turunan ke-23 Nabi Muhammad. Selain dikenal dengan ilmu kebathinannya, Sunan Bonang berdakwah melalui kesenian agar menarik perhatian penduduk Jawa untuk memeluk agama Islam. Salah satunya, dia menggubah suluk wijil dan tembang Tombo Ati yang hingga kini masih sering dinyanyikan orang. Bahkan universitas Leiden menyimpan karya sastra berjudul “Het Boek Van Bonang” atau “Buku Bonang” yang isinya tentang ajaran-ajaran Sultan Bonang. Berdasarkan catatan sejarah, Sunan Bonang diperkirakan wafat pada 1525 dan dimakamkan di Tuban, Jawa Timur.

Sunan Drajat
Sunan Drajat juga merupakan anak dari Sunan Ampel. Nama kecilnya adalah Raden Qasim. Pemilik nama asli Masih Munat ini merupakan wali yang mempelopori memelihara anak yatim dan orang sakit.
Saudara Sunan Bonang ini sangat dermawan serta pekerja keras demi membantu masyarakat yang susah. Pesantren Sunan Drajat didirikan di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Sunan Drajat juga disebut-sebut sebagai pencipta tembang “Macapat Pangkur”. Sementara gamelan Singomengkok peninggalannya tersimpan di Museum Sunan Drajat di Lamongan. Dia diperkirakan wafat pada 1522.
Sunan Kudus
Dalam melakukan dakwah penyebaran agama Islam, Sunan Kudus menggunakan sapi untuk menarik perhatian masyarakat. Dia memberikan pengumuman dengan sapinya agar masyarakat datang mendengarkan dakwahnya.
Sunan Kudus memiliki peran penting di Kesultanan Demak yakni menjadi panglima perang, penasehat Sultan Demak dan hakim peradilan negara. Karenanya, dia banyak berdakwah di kalangan kaum priyayi atau bangsawan Jawa dan di kalangan kaum penguasa.
Kaum penguasa yang pernah menjadi muridnya, di antaranya adalah Arya Penangsang, adipati Jipang Panolan dan Sunan Prawoto, penguasa Demak. Satu-satunya peninggalan Sunan Kudus yang terkenal adalah Masjid Menara Kudus yang dibangun pada tahun 1530. Hingga kini masjid itu masih kokoh berdiri dan menjadi bangunan bersejarah. Berdasarkan riwayat sejarah, Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Sunan Giri
Sunan Giri merupakan Walisongo yang memiliki banyak nama panggilan yakni Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden Ainul Yaqin dan Joko Samudra ini adalah murid dari Sunan Ampel dan seperguruan dengan Sunan Bonang.
Sunan Giri merupakan pendiri pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik yang akhirnya menjadi pusat dakwah Islam di Jawa dan Indonesia Timur. Dia menyebarkan agama Islam hingga ke Maluku dan Lombok.
Hingga kini, beberapa permainan tradisional anak-anak seperti Jelungan, Lir-Ilir dan Cublak Cublak Suweng kerap dikait-kaitkan dengan Sunan Giri karena dia termasuk salah satu yang melestarikan permainan tradisional tersebut.

Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah Walisongo yang berumur panjang dan diperkirakan usianya mencapai 100 tahun lebih. Berdasarkan sejarahnya, Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said.
Sunan Kalijaga adalah putra dari adipati Tuban bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Dia merupakan murid dari Sunan Bonang.
Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Kalijaga menggunakan kesenian wayang kulit dan tembang suluk untuk menarik perhatian masyarakat. Tembang suluk lir-Ilir danGundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya.
Dalam sebuah riwayat, disebutkan Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Dia juga menikahi Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri. Dan dia juga dikenal sebagai penggagas “baju takwa”, perayaan Sekatenan, Garebeg Maulud dan lakon Carangan Layang Kalimasada.

Sunan Muria
Sunan Muria memiliki cara tersendiri untuk menyebarkan agama Islam. Yakni dengan cara mengadakan kursus-kursus mengenal Islam untuk para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Dan dia adalah satu-satunya yang mempertahankan seni gamelan hingga akhirnya gamelan tetap terjaga sampai sekarang.

Sunan Muria atau bernama asli Raden Umar Said merupakan putra dari Sunan Kalijaga dari istrinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikahi Dewi Sujinah, putri dari Sunan Ngudung. Tak banyak riwayat yang menceritakan kehidupan Sunan Muria, namun dia adalah salah satu wali yang berperan menyebarkan agama Islam di Jawa.
Sunan Gunungjati
Sunan Gunungjati memiliki nama asli Syarif Hidayatullah, masih merupakan keturunan dari Keraton Pajajaran. Sunan Gunungjati merupakan wali yang terakhir yang mengembangkan agama Islam di Cirebon. Dia juga berhasil mengembangkan kekuasaannya dan menyebarkan agama Islam di Banten yang akhirnya menjadi cikal bakal berdirinya Kesultanan Banten. Sunan Gunungjati banyak belajar Islam dari Mesir sehingga dia sangat pandai saat berdakwah. Dalam usia yang masih sangat muda, Sunan Gunungjati sudah menjadi pendakwah dan pemimpin. Bahkan, dia juga pandai menjalin hubungan dengan negara-negara lain seperti Cina, Mesir untuk memperluas perdagangan.
Sunan Gunungjati juga pernah tinggal di Cina dan tinggal di daerah Nan King. Di sana ia belajar tentang pengobatan dan berdakwah. Karena itulah dia di Cina digelari Maulana Insanul Kamil. Masjid Agung di Cirebon menjadi salah satu peninggalan Sunan Gunungjati.

Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Mari kita jaga sejarah perabadan masuknya Islam melalui kunjungan ke situs-situs Walisongo yang bisa kita lalui sepanjang jalur mudik.